Pada zaman 3 kerjaaan, Negara Shu berjuang untuk menyatukan kembali kedaulatan Dinasty Han. Untuk melancarkan agresi militernya ke Utara (Negara Wei), perdana menteri Negara Shu, Zhu Ge Liang berpikir bahwa sebelum menyerang Negara Wei, terlebih dahulu harus menundukkan suku-suku barbar di selatan agar kelak ketika melancarkan agresi militer ke utara, negaranya tidak mendapat ancaman dari suku-suku barbar di selatan.

Ketika Zhu Ge Liang beserta pasukannya melancarkan misinya untuk menundukkan suku-suku barbar di selatan, mereka mendapat perlawanan yang besar dari suku-suku di selatan yang dipimpin oleh MengHuo.

Sebanyak 6 kali MengHuo tertawan dan di lepaskan kembali sebelumnya akhirnya benar-benar tunduk pada kesempatan tertawan yang ke 7 kalinya.

Perjalanan yang jauh, cuaca di selatan yang tidak menentu, air beracun, dan kondisi alam yang tidak mendukung benar-benar membuat semangat pasukan turun. Banyak diantara para jendral yang mengusulkan untuk membunuh MengHuo pada kesempatan MengHuo tertawan untuk ke 4, ke 5 dan ke 6 kalinya. Begitu juga dalam diri Zhu Ge Liang sudah sangat terpancing emosi untuk membunuh MengHuo yang begitu keras kepala dan tidak mau menyerah. Namun demikian Zhu Ge Liang tetap bisa menahan emosinya sampai ketika MengHuo kembali tertawan untuk ke 7 kalinya yang akhirnya menyatakan untuk tunduk dari dalam hatinya dan bersumpah untuk setia pada kerajaan Shu Han.

Seandainya waktu itu Zhu Ge Liang terbawa emosinya dan membunuh MengHuo seperti yang disarankan para jendral yang ikut besertanya, maka ketika Zhu GeLiang melancarkan agresi militernya ke utara, tentu negera Shu akan mendapat banyak perlawanan di Selatan dari keturunan MengHuo yang ingin menuntut balas dendam. Tapi saat itu Zhu Ge Liang bisa membedakan dengan jelas antara emosi sesaat dan kepentingan yang lebih besar yang ingin di capai.

Kebanyakan dari kita selalu memulai sebuah usaha, kita memulainya dengan penuh semangat, tapi ketika di tengah perjalanan kita menemui masalah lalu kita menjadi down dan terbawa emosi lalu melupakan tujuan utama kita. Sering kali kita seperti anak kecil yang menyusun batu bata untuk membangun gedung. Ketika masalah datang merintangi jalan kita, ketika kita terbawa emosi, akhirnya merubuhkan batu bata yang telah kita susun dengan susah payah, sehingga akhirnya kita tidak mencapai apapun dalam hidup ini. Saya percaya seandainya para tukang pembangun gedung pencakar langit juga sering terbawa emosi sesaat dan merobohkan batu bata yang disusun mungkin kondisi dunia saat ini akan berbeda, mungkin kita tidak akan bisa melihat gedung-gedung pencakar langit yang mewah.

Hidup adalah sebuah pilihan. Dalam buku "the 8th Habit" Stephen R. Covey menjelaskan diantara "rangsangan" dan "tanggapan" terdapat sebuah ruang. Di ruang itu terdapat kebebasan dan kemampuan kita untuk memilih tanggapan kita. Kita bisa memilih untuk tetap fokus pada tujuan kita atau memilih untuk menghancurkan batu bata yang telah kita susun dengan susah payah. Saya percaya setiap rekan-rekan yang telah mencapai kesuksesan dalam hidupnya pasti akan memilih untuk tidak mengikuti emosinya, tapi sebaliknya tetap mengikuti kata hatinya untuk berjuang dan berjuang menyusun bata berikutnya menuju kesuksesan hidup.