Mengampuni orang lain sesungguhnya tidaklah mudah, akan tetapi bila kita tidak bisa memaafkan orang lain, maka yang akan menjadi korban terbesar adalah kita sendiri. Karena luka itu memang sudah terjadi, dan tidak bisa diubah, tegakah kita membiarkan luka yang sudah menjadi kenyataan itu untuk "melukai" diri kita lebih lanjut?

Dahulu saya gemar membaca artikel bodhi berseri karangan Lin Qing Xuan. Seri pertama yang paling saya gemari adalah Bodhi berwarna ungu. Di dalam buku itu ada artikel yang berjudul Tasbih Tulang Manusia. Saya sangat terharu setelah membacanya, selalu teringat dalam waktu yang cukup lama.

Dalam buku itu menuturkan: peristiwa saat pemerintahan komunis China memasuki wilayah Tibet, mereka membantai massal biksu Lama. Ketika itu ada seorang serdadu sedang mengangkat bayonetnya hendak menusuk seorang biksu Lama. Lama itu berteriak dengan suara lantang: "Anak muda, mohon Anda tunggu sebentar!" Segera setelah selesai berteriak, dia melompat ke atas udara, melakukan sebuah salto, kemudian duduk bersila di atas lantai lalu meninggal, sudut matanya masih menyisakan tetesan air mata.

Menurut penjelasan penulis kisah ini, membantai biksu Lama dosa kejahatannya luar biasa besar, harus dimasukkan ke dalam Neraka Avici (neraka jahanam menurut Kitab Budhis) tidak akan bisa bereinkarnasi untuk selamanya. Biksu Lama itu tidak tega melihat serdadu muda tersebut karena ketidak tahuannya, melakukan dosa yang begitu besar dan berat, maka dia lalu membunuh dirinya sendiri.

Sudut mata yang menyisakan air mata karena perasaan iba terhadap "ketidaktahuan" dari serdadu muda tersebut. Jika kejadian ini benar-benar suatu kenyataan, maka, pengasuhan diri dari biksu Lama ini benar-benar sudah melampaui manusia pada umumnya, harus mencapai taraf yang sangat tinggi baru bisa melakukan hal tersebut.

Saya pernah menonton sebuah film yang melukiskan saat Yesus dijatuhi hukuman mati, dia memikul sendiri salib yang sangat berat itu menuju ke Bukit Golgota, sepanjang perjalanan banyak orang memaki dan meludahi diri-Nya. Akhirnya Yesus dipaku di atas salib. Saat menjelang ajal, Yesus berdoa dan memohon kepada Tuhan Allah: "Allah Bapa! Ampunilah mereka, karena mereka 'tidak tahu' apa yang telah mereka perbuat."

Dua hal tersebut memberikan saya guncangan yang sangat besar, ternyata, mengampuni orang lain bukanlah lemah tidak teguh, jiwa yang demikian ini begitu agung dan welas asih! Menghadapi orang yang akan mengambil nyawa dirinya, bukan hanya mengampuni mereka, selain itu juga tidak tega melihat pihak lawan menerima hukuman yang sangat berat setelah kejadian, maka dia membunuh dirinya sendiri, hanya karena 'ketidaktahuan' mereka, hal ini benar-benar bukan pengasuhan dari orang biasa.

Saya juga pernah membaca kisah sebuah artikel:

Ada seorang pelukis yang sangat ternama, saat pulang ke rumah dari berbelanja, ia menemukan benda-benda berharga dalam rumahnya telah dicuri habis. Melihat pemandangan rumahnya yang demikian, pikiran pertama yang berada dalam benaknya: "Untung, yang menjadi pencuri adalah dia, bukan saya!"

Cerita ini mengutarakan sebuah prinsip: orang yang melakukan kejahatan itu sangat kasihan sekali. Mereka melakukan hal itu mungkin hanya untuk bisa mendapatkan sedikit harta kekayaan, atau mungkin telah membalas sakit hati yang menumpuk selama bertahun-tahun, juga mungkin untuk bisa mendapatkan hadiah imbalan dari orang yang meminta dia melakukan hal itu. Tetapi kebaikan apapun yang dia dapatkan tidak bisa menghapus kenyataan bahwa mereka adalah orang yang 'tidak tahu, kasihan dan hina'.

Dalam Alkitab tertulis: "Penderma akan mempunyai keberuntungan yang lebih besar daripada si penerima, karena penderma lebih kaya dari pada si penerima!"

Jika dipandang dari sudut pandang materi, kita sangat sulit memahami makna sebenarnya dari perkataan ini. Pengalaman hidup saya selama puluhan tahun, membuat saya dapat melihatnya:

Mereka yang senang mendermakan harta untuk menolong sesama, acap kali adalah orang yang berpenghasilan sangat rendah. Boleh dikatakan bahwa pada sebagian besar orang kaya, semakin banyak harta kekayaan yang mereka memiliki, ketamakan yang berada di dalam hati mereka semakin besar pula. Ibaratnya seperti ketidak puasan hati manusia, seperti ular menelan gajah! 

Penderma ingin mendermakan harta mereka, karena di dalam hati mereka sangat kaya. Bila kemiskinan iman yang ada dalam lubuk hati seseorang, maka walaupun dia memiliki kekayaan harta yang berlimpah, juga akan selalu memikirkan: "Saya masih ada banyak sekali hal yang harus saya kerjakan, keuangan saya saat ini sangat mendesak, mana ada kelebihan dana untuk membantu orang lain?"

Maka perkataan dalam Alkitab seharusnya dipahami demikian: "Manusia yang kaya iman akan mempunyai keberuntungan yang lebih besar dari pada orang yang miskin imannya!"

Prinsip yang diterangkan di atas adalah dengan kewelas-asihan membantu dan menolong orang lain, bisa mengampuni kesalahan orang lain adalah pengasuhan diri dari pribadi seseorang, kedua-duanya merupakan manifestasi dari peningkatan moral.

Dilihat dari sisi yang lain, dosa kejahatan sebenarnya berasal dari ketidaktahuan, jika "berdebat" dengan orang yang berbuat kejahatan, bukankah sama dengan orang yang "tidak tahu"?

Dahulu ada seorang anak muda yang terus-menerus mencari sastrawan yang ternama pada zamannya itu untuk diajak beradu kemahiran sastra. Banyak sekali orang yang mengkritik anak muda ini dengan mengatakan dia sedang memanfaatkan tantangannya kepada orang yang ternama, agar supaya dirinya disejajarkan dengan orang ternama itu. Prinsip sisi positif dan negatif itu saling berhubungan.

Lebih maju selangkah lagi dapat dikatakan, seseorang yang karena ketidaktahuan dirinya dan berbuat kejahatan, keadaan yang mereka alami sangat kasihan sekali. Lalu buat apa kita masih menjatuhkan batu kepada orang yang sudah terjerumus ke dalam sumur?

Bagi mereka yang berbuat kejahatan karena ketidaktahuan, hal itu disebabkan oleh karena dia tidak memiliki kesempatan dan nasib yang baik, untuk bisa mendapatkan petunjuk dari orang "pandai", ia tidak menemukan jalan agar moral dirinya bisa mengalami peningkatan. Nasib dalam kehidupannya sungguh-sungguh menyedihkan dan sangat kasihan sekali! Seseorang yang mempunyai keberuntungan, kesempatan dan nasib yang baik, mana boleh tidak berbelas kasih kepada orang yang keberuntungan dan nasibnya kurang baik? 

Mengampuni orang lain sesungguhnya tidaklah mudah, akan tetapi bila kita tidak bisa memaafkan orang lain, maka yang akan menjadi korban terbesar adalah diri kita sendiri. Karena luka itu memang sudah terjadi, dan tidak bisa diubah, tegakah kita membiarkan luka yang sudah menjadi kenyataan itu, untuk "melukai" diri kita lebih lanjut?

Dahulu ada orang yang berkata: "Orang budiman kalau ingin membalas dendam, tiga tahun kemudian masih belum terlambat." Saya sendiri lalu berpikir: selama tiga tahun itu, bila setiap hari harus mengingat orang dan kejadian yang melukai Anda dan sekaligus membenci orang tersebut, betapa beratnya beban itu!

Berbicara tentang permasalahan dalam kehidupan, maka orang kuno berkata: "Dari sepuluh permasalahan kehidupan itu, ada delapan sampai sembilan yang tidak sesuai dengan keinginan dan harapan kita. Hubungan antara manusia dengan manusia juga adalah begitu, kasus melukai atau dilukai dengan sengaja maupun tidak, kejadiannya bagai gunung dan lautan, tidak kurang dari puluhan ribu kali kejadian! Seseorang jika di dalam hatinya selamanya terpenuhi dendam yang begitu banyak, masihkah orang tersebut mempunyai kesempatan untuk menikmati kebahagiaan dalam hidupnya?"

Saya pernah membaca cerita seperti ini: Dahulu kala ada seorang majikan bersama-sama dengan pembantunya pergi menagih uang sewa sawah. Selesai menagih uang sewa sawah hari sudah petang, majikan dan pembantu tersebut pergi ke warung mie untuk membeli semangkuk mie. Setelah selesai makan, majikan tersebut melihat pembantunya ini tidak ada niatan untuk membayar, maka dia dengan hati yang sangat tidak rela membayar mie itu.

Ketika majikan bersama pembantunya itu dalam perjalanan pulang ke rumah, hari sudah gelap, pembantunya itu bergegas menyulutkan lentera minyak dan berjalan di depan majikannya untuk membuka jalan. Majikan dengan nada yang sangat tidak senang berkata: "Anda itu siapa! Berani benar berjalan di depan saya?"

Pembantu itu bergegas mundur ke samping majikannya, untuk menerangi jalanan, majikan itu masih berkata dengan nada yang tidak senang: "Huh! Statusmu itu apa? Maju bahu-membahu dengan saya!" Karenanya pembantu itu mundur lagi ke belakang majikannya, namun majikan itu masih tetap juga tidak senang: "Anda berjalan di belakang saya, bagaimana saya bisa melihat jalan, Anda berniat membuat saya mati terjatuh?"

Pembantu itu akhirnya membuka suara bertanya pada majikannya: "Saya berjalan di depan, di belakang, di sebelah Anda semuanya tidak Anda perkenankan, sebenarnya Anda ingin saya berjalan di posisi mana?"

Akhirnya majikan itu mengeluarkan suara hatinya dengan berkata: "Jika Anda kembalikan uang mie yang Anda makan tadi kepada saya, Anda boleh berjalan di posisi manapun."

Pikir punya pikir, majikan tersebut hanya karena persoalan sekecil biji wijen, tidak bisa melepaskan hati dan melupakan dendam? Bila hanya masalah kecil saja ia tidak bisa melepas, bagaimana bisa menikmati kehidupan? Tidur pun mungkin tak nyenyak, karena selalu memikirkan untung rugi, tidak rela bila harus menderita kerugian yang sekecil apa pun.

Sebenarnya ingin melewati hari-hari yang bahagia itu sangatlah sederhana, asalkan bisa melepaskan dan melupakan segala dendam, Anda tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi untuk menghindari bertemu dengan musuh, Anda dapat berpesiar semau Anda dengan lapang luas bagaikan langit dan lautan. 

Jika bisa mengampuni orang lain dan mau mencampakkan beban berat "ingin membalas dendam", bukankah bisa hidup dengan ringan dan santai?