"Ya, aku hampir lupa buah pir kaleng!" ujar Lilia ketika berbelanja dengan ayahnya di sebuah pasar swalayan di dekat rumahnya. Sialnya, yang ada di rak hanya tinggal sekaleng buah pir. Itu pun kalengnya sudah peot-peot, sebagian labelnya sudah terkelupas. untung masa kadaluarsa produk itu masih lama. Tanpa pikir panjang, Lilia langsung menyambar kaleng itu dan menaruhnya di dalam kereta belanja.

Ketika menuju kasir, mereka bertemu seorang pemuda yang sedang menemani ibunya berbelanja. Penampilan cowok ini memang agak ketinggalan zaman. Tampangnya tidak memikat, badannya kurus, dan kacamata tebalnya sering melorot ke bawah karena hidungnya yang pesek. Saat melihat Lilia, raut muka cowok itu berbinar-binar. "Apa kabar, Lilia ?" sapanya.

"Huh..." yang ditanya menjawab cuek.

Ketika berpapasan, Lilia sengaja mendorong kereta belanjanya cepat-cepat menghindari sang pemuda itu.

"Lilia, itu siapa ?" ayahnya bertanya.

"Salah seorang cowok dikelasku. Sudah, ayah jangan banyak bertanya, aku tidak suka dia!"

"Mengapa?"

"Masa, ayah tidak bisa lihat?"

Seolah tanpa menghiraukan jawaban si anak, pria paruh baya itu lalu memungut kaleng buah yang sudah peot dari kereta belanja.

Sayang, lihatlah barang pilihamu. Pasti ada yang tak beres dengan buah kalengan ini. Apa tidak sebaiknya dikembalikan saja ?

"Jangan ayah!" memang kemasannya sudah cacat, tapi buah di dalamnya masih bagus, ujar Lilia protes.

"Kamu benar, nak, jawab sang ayah.  "Sering kita tertipu dengan bungkus atau penampilan luar, padahal isinya bagus. Jangan lupa nak, prinsip ini berlaku pula untuk menilai orang.